Menyambut Keheningan Seorang Anak Bernama Anna
Di tengah gemerlap dunia anak-anak yang biasanya di penuhi tawa, film animasi “When Marnie Was There” justru menyapa penonton dengan hening dan kesendirian. Cerita ini di buka oleh sosok Anna Sasaki, seorang gadis berusia 12 tahun yang tidak seperti anak seusianya.
Alih-alih bermain di taman bersama teman-teman, Anna justru lebih memilih menyendiri di bangku pojok, menyalurkan isi hatinya lewat lukisan. Ia tidak hanya pemalu, tapi juga mengalami kesulitan bernapas karena asma kronis yang ia derita. Namun, lebih dari itu, Anna membawa luka emosional yang tak kalah menyakitkan: rasa tidak di cintai.
Terlalu Muda untuk Menanggung Luka: Anna dan Trauma Pengasuhan
Baca Juga : The Tale of Princess Kaguya: Dongeng Bambu Penuh Makna dari Negeri Sakura
Sejak kecil, Anna di asuh oleh Yoriko Sasaki, perempuan paruh baya yang berperan sebagai ibu angkatnya. Meskipun hidup bersama cukup lama, hubungan mereka tidak begitu dekat. Anna merasa ada jarak yang sulit ia jangkau.
Suatu hari, serangan asma membuat Anna pingsan di taman, memicu kekhawatiran mendalam dalam diri Yoriko. Menyadari bahwa lingkungan perkotaan seperti Sapporo tidak cocok untuk kesehatan Anna, Yoriko pun memutuskan mengirim Anna ke pedesaan Kushiro, tempat udara lebih segar dan jauh dari polusi.
Keputusan ini menjadi awal dari perjalanan batin dan transformasi emosional yang akan di alami Anna. Bukan sekadar pindah tempat tinggal, tetapi berpindah ke alam yang lebih jujur dan tenang, sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
Perjalanan ke Kushiro: Awal dari Proses Penyembuhan
Sesampainya di rumah pasangan lansia Setsu dan Kiyomasa Oiwa, kerabat dari Yoriko, Anna sempat merasa hambar dan tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia merasa tak di cintai, bahkan oleh ibu angkatnya sendiri, terutama setelah menemukan dokumen adopsi yang menyatakan bahwa Yoriko menerima uang sebagai kompensasi.
Perasaan kecewa dan marah membuncah dalam diri Anna. Ia percaya bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar mencintainya tanpa syarat. Luka batin itu terus membesar hingga ia merasa tidak berharga.
Namun, seperti takdir yang di siapkan untuk mengobatinya, pedesaan Kushiro mempertemukan Anna dengan sebuah vila tua di pinggir rawa, yang kemudian membawanya pada satu nama yang mengubah segalanya: Marnie.
Pertemuan Misterius: Marnie dan Vila Tua yang Menggoda
Anna yang sering menyendiri mulai tertarik pada vila tua yang tampak tak berpenghuni. Ia menggambarnya, memimpikannya, bahkan merasa ada seseorang yang menunggu di dalamnya.
Rasa penasaran Anna akhirnya terjawab saat bertemu langsung dengan sosok misterius: Marnie. Seorang gadis berambut pirang, berpakaian vintage, dan bersikap sangat ramah. Aneh memang, tapi Anna tidak merasa takut—justru nyaman dan di terima sepenuhnya.
Pertemuan mereka yang terasa ajaib itu menjadi awal dari persahabatan unik, sekaligus perjalanan batin yang dalam. Keduanya, secara tidak sadar, saling menyembuhkan luka masa kecil mereka masing-masing.
Persahabatan yang Menghapus Sepi
Sejak mengenal Marnie, hidup Anna perlahan berubah. Ia kini memiliki seseorang yang bisa di ajak berbicara, berbagi rahasia, bahkan tertawa bersama. Meski dunia mereka berbeda, keduanya seolah tak memiliki batas.
Mereka berpetualang, saling menguatkan, dan mengisi kekosongan hati yang selama ini tak mampu di jangkau oleh orang dewasa. Bahkan dalam diam, keduanya bisa saling memahami. Namun tentu saja, di balik kehangatan itu, ada pertanyaan besar tentang siapa sebenarnya Marnie.
Ketika Kenyataan dan Imajinasi Bertemu
Lama-kelamaan, hubungan Anna dan Marnie tak hanya mengisi kesepian, tetapi juga membuka banyak tabir dalam hidup Anna sendiri. Kisah masa lalu yang rumit dan menyakitkan mulai terkuak.
Sutradara Hiromasa Yonebayashi, melalui film ini, menyampaikan bahwa dunia anak sering kali penuh luka yang tak terlihat. Banyak anak, seperti Anna dan Marnie, menyimpan perasaan sakit hati, merasa tidak di dengarkan, dan berpura-pura baik-baik saja demi menyenangkan orang dewasa.
Namun, luka itu tak hilang—hanya tertidur dalam. Dan suatu hari, ia muncul kembali dalam bentuk perasaan minder, penolakan terhadap diri sendiri, atau bahkan keinginan untuk menghilang dari lingkungan sosial.
Kritik Sosial Tersirat: Anak Bukan Sekadar Di asuh, Tapi Di terima dan Di cintai
When Marnie Was There bukan sekadar film animasi tentang persahabatan. Film ini adalah kritik halus terhadap cara orang dewasa memperlakukan anak-anak. Banyak dari kita, orang tua atau wali, sering lupa bahwa anak-anak pun butuh validasi, pengakuan, dan cinta yang tulus tanpa syarat.
Kehidupan Marnie yang tragis, serta sikap orang-orang dewasa di sekitar Anna, menunjukkan bahwa kekerasan psikis bukan hanya dalam bentuk teriakan atau pukulan, tetapi juga dari pengabaian dan kurangnya kasih sayang.
Mengajarkan Empati Lewat Imajinasi
Yang membuat When Marnie Was There begitu kuat adalah kemampuannya menghadirkan kritik lewat keindahan visual dan emosi yang subtil. Tanpa menggurui, film ini justru mengajak penonton masuk ke dalam jiwa Anna, merasakan betapa pentingnya keberadaan seseorang yang mendengar.
Lewat imajinasi dan hubungan spiritual Anna dengan Marnie, kita belajar bahwa kadang seseorang hanya butuh didengarkan untuk sembuh. Film ini juga menunjukkan bahwa masa kecil bisa begitu rapuh, dan bila tidak dijaga dengan penuh perhatian, dampaknya bisa terus terbawa hingga dewasa.
Akhir yang Mengharukan dan Penemuan Jati Diri
Tanpa memberikan spoiler besar, film ini berakhir dengan sebuah penemuan besar yang mengubah cara pandang Anna terhadap hidup dan orang-orang di sekitarnya. Semua pertanyaan tentang siapa Marnie sebenarnya akan terjawab dengan cara yang menyentuh dan tak terduga.
Yang jelas, dari film ini kita diajak untuk merenungkan kembali peran kita sebagai orang dewasa dalam kehidupan anak-anak. Apakah kita sudah cukup hadir? Sudah cukup mendengarkan? Atau justru menjadi bagian dari trauma yang mereka pendam diam-diam?
Pelajaran Besar: Hadir Secara Emosional untuk Anak
Lebih dari sekadar hiburan, When Marnie Was There menjadi pengingat penting bahwa anak-anak tidak hanya butuh makanan dan tempat tinggal, tetapi juga kasih sayang dan keterhubungan emosional.
Anna dan Marnie mewakili banyak anak di dunia nyata yang tidak mendapatkan kasih sayang yang seharusnya. Dan film ini mengajak kita untuk mulai melihat lebih dalam, memahami tanpa menghakimi, dan mencintai tanpa syarat.
Ketika Imajinasi Menyembuhkan Luka
When Marnie Was There adalah film yang indah, tenang, dan penuh makna. Di balik animasi yang lembut dan narasi yang menyentuh, tersimpan pesan penting tentang pengasuhan, cinta, dan keberanian untuk memeluk masa lalu.
Bagi para orang tua, wali, atau siapa pun yang bersentuhan dengan dunia anak-anak, film ini adalah pengingat bahwa hadir secara utuh—bukan hanya fisik tapi juga emosional—adalah bentuk perlindungan terbaik bagi buah hati.